Selama penjelajahannya di Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Raffles pernah menemukan sebuah kompleks candi peninggalan agama Hindu yang cukup luas di Jawa Timur pada tahun 1815. Tempat pemujaan
Penduduk setempat yang sudah berganti keyakinan semenjak runtuhnya Majapahit yang kemudian disusul dengan masuknya agama Islam membuat kondisinya terabaikan, tidak terawat, dan tertutup semak-semak belukar saat pertama kali ditemukan.
Berdasarkan Prasasti Palah, candi yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar dibangun sekitar tahun 1194 pada masa kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Syrenggra antara tahun 1190-1200. Semula bangunan suci tersebut berfungsi sebagai candi gunung untuk pemujaan dewa guna menangkal dan menghindar dari mara bahaya Gunung Kelud. Seiring dengan pergantian dinasti, ada penambahan bangunan-bangunan candi yang salah satunya diduga sebagai tempat pendharmaan Ken Arok, pendiri kerajaan Singosari.
Bagi penggemar batu candi seperti saya, Candi Palah atau kini disebut sebagai Candi Panataran atau Candi Penataran memiliki area yang cukup luas dan menarik untuk ditelusuri satu-persatu bagiannya. Pertama-tama saya disambut oleh dua Arca Dwarapala berukuran besar yang terletak di halaman depan. Disusul dwarapala-dwarapala dengan ukuran lebih kecil.
Bagian berikutnya meliputi bale agung, pendopo teras, Candi Angka Tahun yang di dalamnya terdapat Arca Ganesha, kemudian halaman tengah, Candi Naga, halaman belakang, dan candi induk yang terdiri dari tiga teras dengan dua Arca Mahakala di masing-masing anak tangganya.
Sekali lagi tiap bagian candi menarik untuk diamati dan dipelajari satu-persatu. Relief garuda yang konon menginspirasi Sang Proklamator. Tubuh naga yang disangga sembilan orang sebagai simbol candrasengkala. Hingga relief yang menggambarkan cerita rakyat Sri Tanjung.
Perlakuan biaya masuk Candi Penataran tidaklah seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang sudah terkenal hingga mancanegara. Pengunjung hanya perlu menulis buku tamu di pos penjaga di pintu depan saja. Tidak dipungut biaya retribusi dengan tiket masuk resmi, hanya bersifat sukarela. Sayangnya belum tersedia guide yang siap sedia menerangkan seluk-beluk candi. Sehingga saya dan pengunjung yang lain harus berjalan sendiri sambil mengamati tiap ukiran di atas batu andesit berumur ratusan tahun dan meresapi suasana mistis Candi Penataran.
Berbicara tentang suasana mistis, sebuah kolam yang terletak di bagian belakang kompleks candi dipercaya oleh sebagian orang sebagai tempat pengabul permintaan, pembawa berkah dan sugesti yang lain. Sumber mata air yang dikelilingi batu andesit berukirkan relief fabel tersebut juga berisi puluhan ikan.
Ada pengunjung yang minum langsung air dari kolam, ada pula yang sekedar membasuh wajah dan tangannya.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar